Pages

Minggu, 12 Januari 2014

Teori dan Praksis Pendidikan Nonformal

 
Definisi pendidikan nonformal ditinjau dari sudut pandang pendidikan yang sistematik dan holistic. Dijelaskan oleh Kleis (1973:3) yang diawali dengan pengertian tentang pendidikan. Pendidikan adalah penjumlahan dari semua pengalaman yang melalui pengalaman itu seseorang atau sekelompok orang tiba dengan perantara, antara seseorang dengan lingkungannya. Pertemuan itu menimbulkan perubahan dalam lingkungan. Belajar menghasilkan pengetahuan dalam bentuk kognisi, kompetensi, nilai – nilai sikap, asperesiasi dan perasaan berlandaskan preferensi untuk bertindak atau bertindak kembali.
Pengertian pendidikan selalu ditekankan pada segi – segi sistematik dan bertujuan. Pendidikan mencangkup pemilihan sesuai yang diinginkan dan struktur yang sistematik dari pengalaman – pengalaman dan penentuan misi eksplisit, peranan – peranan dan pola – pola tindakan. Pada perkembangan awal pendidikan menjadi fungsi dari suatu sekolah atau suatu sistem dari sekolah – sekolah. Sistem pendidikan yang dimaksud diatas memiliki tiga sub sistem utama, yaitu organisasi, sumber daya manusia, dan kurikulum yang masing – masing memiliki dua komponen pokok :
1. Organisasi
a. Misi: Kerangka kerja yang mapan yang didalamnya tujuan – tujuan dikembangkan dan dirumuskan
b. Sponsor: kelembagaan yang diambil prakarsa, mendukung dan mengatur kegiatan yang didalamnya kelembagaan operasional dibentuk diabsahkan dan dikelola.
2. Sumber daya manusia
a. Mentor: personil, baik terlatih secara khusus dan memiliki sertifikat atau tidak yang mengajar membimbing menyelenggarakan kegiatan pendidikan
b. Peserta didik: peserta atau partisipan yang akan dikembangkan kognisi, kompentensi, sikap – sikap dan nilai – nilainya.
3. Kurikulum
a. Isi: Batang tubuh pengetahuan yang diinginkan oleh peserta didik untuk mempelajarinya
b. Terdia: bahan – bahan, perlengkapan – perlengkapan, alat – alat dan proses – proses untuk menyajikan pengalaman belajar bagi peserta didik
Jika sistem pendidikan tersebut terinstigrasi secara structural ataupun subtantif dengan komponen – komponen organisasi, sumber daya manusia dan kurikulum yang sudah mapan secara ketat, maka disebut pendidikan formal atau pendidikan sekolah. Sebaliknya jika dia tidak terinstigrasi secara tersetruktural ataupun subtantif dan cenderung fleksibel, mengadaptasi persyaratan – persyaratan misi atau komponen – komponen baru dia disebut pendidikan nonformal.
Pendidikan luar sekolah berbeda dengan pendidikan sekolah, perbedaan itu terletak pada struktur dan sifat sentralis yang ada pada pendidikan sekolah dan tidak ada pada pendidikan luar sekolah. Dengan mengacu kepada definisi tersebut diatas, maka pendidikan luar sekolah dikenali memiliki banyak variasi dengan karakterisktik – karateristik yang unik. Karakteristik – karakteristik tersebut antara lain :
1. Tampaknya dipermukaan tidak seperti pendidikan. Contoh: kepramukaan, upaya peningkatan pendapatan keluarga sejahtera, penyuluhan pertanian, pembangunan masyarakat desa, dipermukaan tidak menampakan pendidikan tetap dalam maknanya yang luas adalah pendidikan yaitu pendidikan nonformal.
2. Sering titik pusat perhatian dan kegiatannya ditekankan misi yang segera dan praktis, salah satu contohnya yaitu kursus dan pelatihan profesi.
3. Pada umumnya diselenggarakan diluar gedung sekolah
4. Penguasaan pengetahuan, sikap dan ketrampilan dibuktikan oleh kinerja daripada oleh sertifikat
5. Biasa mengandung isi dan struktur organisasi yang tidak rumit
6. Biasanya melibatkan partisipan sukarela dan merupakan kegiatan paruh waktu (part time)
7. Pembelajaran jarang berjenjang secara ketat
8. Biasanya tidak menggunakan seleksi masuk yang ketat
9. Seleksi mentor atau tutor didasarkan pada kompentensi bukan ijasah
10. Sering melibatkan pemimpin – pemimpin secara sukarela
11. Tidak terbatas pada klasifikasi organisasi, kurikulum ataupun SDM tertentu
12. Memiliki kompetensi yang cukup besar untuk terjadinya pengaruh berganda, baik secara ekonomi maupun social oleh karena pendidikan memiliki sifat terbuka untuk menggunakan personil, media, dan unsure – unsure lain sepanjang tersedia di masyarakat.
Dari segi praktek, pendidikan nonformal adalah perbuatan pendidikan yang melibatkan tiga komponen utama yaitu peserta didik, pendidik, dan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan selain mengacu pada aspek – aspek normatif kehidupan juga memperhatikan kebutuhan peserta didik yaitu kebutuhan belajar yang berkaitan dengan kebutuhan hidupnya. Dengan demikian tujuan pendidikan diwarnai oleh karakteristik peserta didik khususnya kebutuhan belajarnya. Interaksi pemikiran yang dinamis pendidik mengenai peserta didik dan tujuan pendidikan akan menentukan komponen berikutnya yaitu materi, metode dan teknik pembelajaran serta media pembelajaran, proses pembelajaran, penilaian, hasil atau dampak pembelajaran. Komponen – komponen itu memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan karakteristik komponen pendidikan formal. Dalam perbedaan tersebut termasuk tempat dan waktu pembelajaran. Karakteristik pendidikan nonformal antara lain dapat ditinjau dari aspek – aspek tujuan, waktu, isi program, proses pembelajaran dan pengawasan.
Ilmu pendidikan (termasuk pendidikan nonformal) merupakan ilmu terapan, dengan kata lain selain dalam dirinya sudah memiliki aspek keilmuan juga menerapkan konsep – konsep dan teori – teori dari ilmu lain seperti contoh dari ilmu psikologi, antropologi, sosiologi, komunikasi, ekonomi dan berbagai macam ilmu lainnya. Penerapan konsep dan teori – teori tersebut dikaitkan dengan kajian tentang masukan, proses transformasi, keluaran, dan pengaruh atau dampak. Konsep dan teori yang diterapkan dalam pendidikan nonformal dari berbagai ilmu lain meliputi :
1. Psikologi
Dari psikologi maupun psikologi sosial diterapkan dalam menentukan tujuan pendidikan, mengakses karakteristik dan kebutuhan peserta didik dan pelaksanaan pembelajaran antara lain:
a. Teori Persepsi
b. Teori Kognisi
c. Teori Motivasi
d. Teori Sikap
e. Teori Belajar
f. Dinamika Kelompok
2. Antropologi
Dari antropologi diterapkan dalam menentukan tujuan pendidikan, sarana prasarana dan kebutuhan sumber belajar, proses pembelajaran yaitu melalui:
a. Sistem nilai budaya
b. Budaya global, nasional dan lokal
c. Pemanfaatan potensi budaya lokal
3. Sosiologi
Dari sosiologi diterapkan dalam pengelompokan peserta didik, pembentukan kelompok belajar, interaksi pembelajaran antara lain melalui:
a. Interaksi dan tindakan sosial
b. Pengelompokan sosial
c. Teori pelapisan sosial
d. Teori konflik
4. Komunikasi
Dari ilmu komunikasi diterapkan dalam proses pembelajaran, pemilihan metode dan teknik serta media pembelajaran yang antara lain melalui:
a. Berbagai konsep proses komunikasi
b. Komunikasi/difusi inovasi
c. Penggunaan media komunikasi
5. Ekonomi
Dari ilmu ekonomi diterapkan dalam penentuan efisiensi pendidikan serta keuntungan ekonomi dan sosial pendidikan, yang diantaranya melalui:
1. Konsep investasi SDM
2. Konsep cost effectiveness
3. Rate of return to education
4. Cost benefit analysis
Masih banyak teori – teori dan konsep lain yang bisa diaplikasikan dalam pendidikan nonformal termasuk bidang sains dan humaniora.
Dalam praktek pendidikan nonformal diantara komponen – komponen yang ada, komponen pendidik menempati posisi yang strategis, bisa dikatakan demikian mengingat pendidik merupakan pelaksana daripada perencanaan proses pembelajaran pendidikan nonformal. Pendidik secara langsung berhadapan dengan peserta didik dan warga masyarakat disekitarnya yang terkait dengan kegiatan pendidikannya.
Undang – Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan secara umum bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik perguruan tinggi (pasal 39 ayat 2). Dalam peraturan pemerintahan no 9 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dipertegas tentang kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (PP 19 tahun 2005, pasal 28 ayat 1). Pada ayat (3) pasal yang sama ditegaskan bahwa kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi kompetensi:
1. Kompetensi Pedagogik
2. Kompetensi Kepribadian
3. Kompetensi Profesional
4. Kompetensi Sosial
Pada pasa 29 menyebutkan bahwasanya kualifikasi akademik pendidikan bagi pendidik PAUD, SD, SMP, SMA adalah kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1).
Dalam pasal dan ayat tersebut tidak disebutkan pendidik pada pendidikan nonformal kecuali pendidikan anak usia dini. Namun kecenderungan pasal dan ayat itu juga mengena kepada tenaga pendidik pendidikan nonformal peluangnya besar.
Dalam praktek pendidikan nonformal, kegiatan pendidikan dalam bentuk pembelajaran dan segala aspek manajemennya terjadi pada program – program sebagai berikut:
1. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), di selenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pada jalur pendidikan nonformal berbentuk satuan kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), pendidikan keluarga dan bentuk lain yang sederajat. Jenis pendidikan ini bertujuan untuk memberikan bimbingan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dalam aspek fisik, mental, emosional, intelektual dan sosial.
2. Pendidikan Keaksaraan, diselenggarakan dalam bentuk satuan kelompok belajar keaksaraan fungsional (KF) bagi warga masyarakat yang buta aksara, bahasa, pengetahuan dasar dan ketrampilan fungsional.
3. Pendidikan Kesetaraan, diselenggarakan dalam bentuk kelompok belajar paket A, B dan C setara SD, SMP dan SMA.
4. Pendidikan Kecakapan Hidup, adalah pendidikan yang memberikan kecakapan personal, sosial, intelektual dan vokasional kepada warga masyarakat untuk mampu bekerja atau berusaha secara mandiri. Jenis pendidikan ini dilakukan dalam bentuk pelatihan, kursus, kelompok belajar usaha, magang, dan lain – lain.
5. Pendidikan Pemberdayaan Perempuan, adalah pendidikan yang bertujuan mengangkat harkat dan martabat perempuan serta mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa bernegara, meningkatkan kualitas kesehatan, ketrampilan, kewirausahaan, kepemimpinan dan pembinaan keluarga. Jenis pendidikan ini dilaksanakan dalam bentuk satuan pendidikan keluarga, kelompok belajar, penyuluhan, pelatihan, majelis taklim, kursus, magang, dan lain – lain.
6. Pendidikan Kepemudaan, adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa melalui aktivitas organisasi pemuda, kepramukaan, paskibraka, palang merah, kelompok olahraga, kelompok pecina alam, pelatihan, kewirausahaan dan lain – lain.
7. Pendidikan Usia Lanjut adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk memberikan pelayanan kepada warga masyarakat pada saat, sebelum atau setelah seseorang memasuki usia lanjut sehingga memperoleh pengembangan yang optimal dalam aspek emosional, sosial, keimanan dan ketaqwaan, kepribadiannya pada usia lanjut. Jenis pendidikan ini dilakukan dalam bentuk satuan keluarga, majelis taqlim, panti werda, paguyuban lansia, dan lain – lain.
8. Pendidikan dan pelatihan kerja adalah pelayanan pendidikan untuk meningkatkan kemampuan warga masyarakat yang penekanannya pada penguasaan ketrampilan fungsional yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.


Sumber:
Ditjen PLSP. (2005). Program Prioritas Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda tahun 2005. Jakarta: Ditjen PLSP
Trisnamansyah, Sutaryat. (2008). Pengembangan Paradigma Baru Keilmuan dan Kelembagaan Pendidikan Nonformal. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

Sabtu, 11 Januari 2014

Awal Kemunculan Konsep Pendidikan Luar Sekolah


Pasca perang dunia II negara – negara terjajah satu demi satu memperoleh kemerdekaan. Pada era inilah negara – negara yang akan mulai berkembang itu mengisi kemerdekaannya dengan pembangunan di berbagai bidang yang meliputi social, politik, ekonomi, dan pendidikan. Sejalan dengan kemajuan setahap demi setahap bidang ekonomi, bidang pendidikan (formal) mengalami perluasan disertai dengan harapan – harapan bahwa pendidikan akan mendorong tingkat kesejateraan rakyat dan meningkatkan martabat bangsa yang baru merdeka. Sementara itu negara – negara yang telah lama merdeka dan memiliki industri maju, pendidikan telah berorientasi pada demokratisasi pendidikan dengan program wajib belajar sampai dengan sekolah lanjutan tingkat pertama bahkan tingkat atas yang akhirnya ditujukan pada kualitas hidup warga negaranya.
Pada pertengahan tahun 1960-an terjadi kepincangan dalam dunia pendidikan di berbagai Negara khususnya negara berkembang dan negara maju akibat enrolmen siswa dalam pendidikan sekolah meningkat hamper dua kali lipat, anggaran belanja pendidikan bertambah besar, pendidikan berkembang menjadi industri lokal. Pada bulan oktober 1967 sejumlah pakar pendidikan dan pakar ekonomi dari berbagai Negara tersebut berkumpul dalam satu konferensi yang diselenggarakan di Williamsburg, Virginia, USA. Tujuan daripada konferensi ini adalah untuk mengakses kondisi dan prospek pendidikan di dunia ini. Dalam konferensi itu hanya satu topik tunggal yang dibahas dan di diskusikan, yaitu tentang krisis pendidikan dunia. menurut Philip H. Coombs dalam sebuah makalah nya yang ditulis dan disajikan kepada peserta koneferensi, ada tiga kata yang saling berhubungan yang merupakan inti daripada krisis pendidikan dunia yaitu perubahan, adaptasi dan disparitas atau kesenjangan.
Dalam hal kesenjangan, yang dihadapi diantaranya mengenai materi kurikulum yang tidak lagi sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kebutuhan belajar para peserta didik atau siswa. Selain itu kesenjangan lainnya adalah mengenai ketidakserasian antara pendidikan dengan dunia kerja, ketidak merataan kesempatan pendidikan bagi berbagai segmen dalam masyarakat dan kesenjangan antara biaya pendidikan yang diperlukan dengan ketersediaan dana pemerintah untuk investasi dalam bidang pendidikan. Krisis semacam ini tidak dapat dihadapi dan diatasi hanya oleh segelintir kalangan pendidikan mengingat merupakan krisis yang menyangkut ranah ekonomi juga didalamnya.
Menuju ke awal 1970-an telah terjadi pula perubahan selain pada aspek demografi seperti pada akhir 1960-an. Perubahan yang terjadi adalah dalam hal pemikiran dan kebijakan tentang pembangunan dan perubahan pemikiran tentang pendidikan. Asumsi yang mendasari pemikiran tentang pembangunan di Negara – Negara yang sedang berkembang adalah identik dengan yang berlaku di Negara industri maju yaitu melalui investasi, industrialisasi, pertumbuhan GNP dan bahwa proses pembangunan akan di susul oleh proses redistribusi pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Namun dalam kenyataannya, di Negara – Negara yang sedang berkembang pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan GNP tricle down and spread effect itu telah mengakibatkan kepincangan pembagian pendapat dan telah menimbulkan kelompok – kelompok penduduk yang miskin, bahkan hasil dari sebuah pembangunan terbalik, yang seharusnya juga dirasakan oleh kalangan bawah malah dominan dirasakan oleh hanya kalangan atas semata. Dengan kenyataan seperti itu kemudian terjadi perubahan pemikiran dan kebijakan tentang pembangunan yaitu bahwa pembangunan bukan dimaksudkan untuk mensejahterakan kelompok kecil orang melainkan berorientasi kepada kelompok orang banyak dengan penekanan kepada kelompok miskin dan kurang beruntung. Sejalan dengan itu akses pendidikan pun harus terjadi bagi setiap segmen warga masyarakat.
Bersamaan dengan perubahan pemikiran dan kebijakan dibidang pembangunan telah terjadi pula perubahan pemikiran tentang pendidikan. Fokus pemikiran pendidikan ini adalah dalam mendefinisikan pendidikan itu sendiri, lama sebelum akhir tahun 1960-an dan menjelang awal tahun 1970, pendidikan secara popular dikonotasikan dengan persekolahan atau system pendidikan formal berjenjang, merentang dari sekolah dasar sampai akhir perguruan tinggi dengan menggunakan pemahaman demikian itu pendidikan seseorang diukur dengan lamanya seseorang tersebut bersekolah yang sekaligus menunjukan sekolah tingkat apa seseorang tersebut menyelesaikan pendidikannya. Cara pandang seperti inilah yang disebut cara pandang yang sempit mengenai definisi dari sebuah pendidikan. Dengan keterbatasan institusi dan pembatasan usia peserta didik/siswa telah menyebabkan pendidikan tidak realistik dan sesuai dengan kenyataan di masyarakat yaitu bahwa sekolah hanyalah sekolah saja yang hanya dapat memenuhi semua kebutuhan belajar setiap individu, bahwa hal ini dapat diselesaikan satu kali untuk semua yang dipenuhi sepanjang usia sekolah setiap individu dan siapa yang tidak bersekolah dengan baik sampai selesai adalah orang tidak berpendidikan.
Wawasan yang lebih umum tentang pendidikan yang diterima luas di dunia internasional pada awal 1970-an menyamakan arti pendidikan secara luas dengan belajar dimana, bagaimana, dana pada individu usia berapa pun belajar itu terjadi, serta pendidikan itu merupakan proses sepanjang hayat mulai sejak baru lahir sampai usia tua menjelang kematian seseorang. dalam kerangka itu Coombs mengajukan konsep formal, nonformal, and informal education. Pada waktu yang hampir bersamaan Edgar Faure sebagai ketua komisi “International Commission on Lifelong Education for today and tomorrow, yang didalamnya dimunculkan konsep learning to be and the learning society. Demikian pula muncul konsep formal, nonformal and informal education sebagaimana sebelumnya telah di populer kan oleh coombs.
Dengan pandangan baru yang luas tentang pendidikan dan dengan munculnya konsep pendidikan sepanjang hayat, pendidikan formal, nonformal dan informal, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengecilkan arti pendidikan sekolah melainkan sebaliknya yakni memperkuat pendidikan sekolah (formal).
Kemunculan pendidikan nonformal di dunia pendidikan international pada awal tahun 1970-an telah diterima secara luas di berbagai Negara di dunia yang salah satunya didasarkan atas strategi nya yang lebih terintegrasi dengan pendekatan berbasis masyarakat dan berorientasi pembangunan dan pemenuhan kebutuhan dasar kelompok miskin. Namun demikian timbul berbagi pertanyaan terhadap pendidikan nonformal itu, apakah pendidikan nonformal itu? seperti apa bentuk pendidikan nonformal itu? bagaimana mekanisme kerjanya? siapa yang melayani kegiatannya? bagaimana di organisasikan, dikelola dan didanai? bagaimana hubungannya dengan pendidikan formal? pertanyaan – pertanyaan tersebut menjadi tantangan para pakar dan praktisi pendidikan dan otoritas pembangunan di tingkat internasional, regional dan nasional yang kemudian melahirkan konsep – konsep, teori – teori, dan program – program aksi.
Tidak mengherankan jika istilah pendidikan nonformal yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa menimbulkan kebingungan atau miskonsepsi atau pemahaman oleh sejumlah kalangan pada saat itu. Sebagian pihak ada yang mengkonotasikan dengan pendidikan orang dewasa dan lebih spesifik dengan kegiatan pemberatasan buta huruf. Sebagian orang lagi tanpa dilandasi pemahaman yang lebih luas tentang pendidikan nonformal harus berada dan hanya merupakan kegiatan dibawah tanggung jawab departemen pendidikan saja. Sikap ini sejalan dengan kebijakan bank dunia, UNICEF dan USAID yang akan segera membantu pengembangan pendidikan nonformal diberbagai Negara. Namun di lain pihak, mereka yang bersikukuh dengan pendidikan formal sebagai satu – satunya lembaga pendidikan merasa tersaingi karena sumber – sumber pendidikan nantinya akan berbagi. Ironisnya dipihak yang mengkritik pendidikan formal seperti Ivan Llich (1970) dengan Deschooling Society nya menegaskan pendidikan nonformal sebagai perangkat untuk memecahkan monopoli sekolah dalam pendidikan.
Masih ada dua miskonsepsi tentang pendidikan nonformal, pertama pemahaman bahwa pendidikan nonformal itu ditujukan semata - mata bagi kelompok miskin dan hanya cocok untuk Negara - Negara berkembang saja. Pandangan ini menurut Coombs keliru sebab Negara – Negara industry maju dalam kenyataan memiliki banyak variasi dan jenis program serta kegiatan nonformal, tanpa kegiatan pendidikan nonformal kemajuan social, ekonomi dan teknologi akan mengalami kelambatan. Pendidikan dipergunakan secara meluas, misalnya dalam upaya memperkenalkan dan menggunakan teknologi baru dan produk baru dalam kelompok tani progresif, pekerja industry, pekerja bank dan sebagainya. Pendidikan nonformal merupakan alat utama yang digunakan oleh orang – orang yang berpendidikan baik melanjutkan pendidikannya melalui berbagi cara dan arah. Pada Negara – Negara yang maju pendidikan nonformal juga memberi peluang kepada siapapun yang berbakat dan berminat untuk menjadi spesialis yang terlatih pada tingkat tinggi seperti fisikawan, insiyur, ilmuwan dan manager puncak di pemerintahan atau industry bisnis.
Miskonsepsi lain adalah tentang biaya pendidikan, ada yang menganggap biaya pendidikan nonformal lebih murah daripada biaya pendidikan formal dalam pengertian lebih efesien, tujuan dapat dicapai dengan biaya rendah. Kesalahan pemahaman ini pertama, memang benar banyak kegiatan nonformal yang unit pembiayaan rendah jika dibandingkan dengan pendidikan formal, tetapi perbandingan ini tidak berarti apapun kecuali jika perbandingan itu dalam upaya mencapai tujuan belajar yang sama melalui kelompok belajar yang bisa dibandingkan. Selain itu biaya program dan kegiatan – kegiatan pendidikan nonformal berbeda – berbeda dan sangat beragam, ada yang memerlukan biaya rendah namun juga ada yang memerlukan biaya yang sangat tinggi.
Dalam kemuculan miskonsepsi ini, Coombs (1985:23) berpendapat bahwa pendidikan nonformal tidak merupakan suatu system pendidikan yang terpisah melainkan parallel dengan system pendidikan formal dalam kerangka system yang lebih besar yaitu system pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal menurut Coombs adalah label generik yang meliputi:
any organized, systematic, educational activity, carried on outside the framework of formal system, to provide selected type of learning to particular subgroup in the population, adults as well as children. Thus defined nonformal education includes, for example agricultural extension and farmer training programs, adult literacy programs, occupational skill training given outside the formal system, youth clubs with substantial educational purposes and various community programs of instruction in health, nutrition, family planning, cooperatives and the like. (Coombs and Ahmed:8).
Berbagai pendidikan nonformal pada umumnya independen satu sama lain, walaupun ada sebagian yang terintegrasi dengan system pembangunan tertentu, seperti pertanian, kesehatan, industry atau system pembangunan masyarakat terpadu. Sebagian lainnya lagi ada yang mempunyai keterkaitan erat dengan pendidikan formal seperti pendidikan keaksaraan bagi orang dewasa, pendidikan keaksaraan bagi anak dan remaja. Dalam pada itu pendidikan informal tumpak seperti pendidikan nonformal, pada sesungguhnya berbeda, pendidikan informal mengacu pada:
The lifelong-long process by which every person acquire and accumulates knowledge
Uraian singkat di muka sekedar untuk mengingatkan kita bersama terhadap awal kemunculan paradigma baru pendidikan, khususnya pendidikan nonformal. Munculnya pertanyaan, bagaimana sesungguhnya paradigm (baru) keilmuan pendidikan nonformal itu? atau dengan perkataan lain, bagaimana ilmu pendidikan nonformal itu sesungguhnya?

Sumber : 
Coombs, P. (1968). The World Educational Crisis. New York: Oxford University Press.
                Coombs, P. (1985). The World Crisis in Education. New York: Oxford University Press
           Trisnamansyah, Sutaryat. (2008). Pengembangan Paradigma Baru Keilmuan dan Kelembagaan Pendidikan Nonformal. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

Senin, 16 Desember 2013

PAUD

Berdasarkan UU NO. 20 TAHUN 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1, Pasal 1, Butir 14 dinyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini memiliki fungsi utama mengembangkan semua aspek perkembangan anak, meliputi perkembangan kognitif, bahasa, fisik (motorik kasar dan halus), sosial dan emosional.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara perkembangan yang dialami anak pada usia dini dengan keberhasilan mereka dalam kehidupan selanjutnya. Misalnya, anak-anak yang hidup dalam lingkungan (baik di rumah maupun di KB atau TK) yang kaya interaksi dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar akan terbiasa mendengarkan dan mengucapkan kata-kata dengan benar, sehingga ketika mereka masuk sekolah, mereka sudah mempunyai modal untuk membaca. Sehubungan dengan fungsi-fungsi yang telah dipaparkan tersebut, maka tujuan pendidikan anak usia dini dapat dirumuskan sebagai berikut :

  1. Memberikan pengasuhan dan pembimbingan yang memungkinkan anak usia dini tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia dan potensinya
  2. Mengidentifikasi penyimpangan yang mungkin terjadi, sehingga jika terjadi penyimpangan, dapat dilakukan intervensi dini
  3. Menyediakan pengalaman yang beranekaragam dan mengasyikkan bagi anak usia dini, yang memungkinkan mereka mengembangkan potensi dalam berbagai bidang, sehingga siap untuk mengikuti pendidikan pada jenjang sekolah dasar (SD)

Dalam satuan pendidikan, PAUD terdiri dari tiga satuan pendidikan yakni PAUD formal yang meliputi Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain sederajat. PAUD nonformal yang meliputi Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain sederajat dan PAUD Informal atau Pendidikan Keluarga atau Pendidikan yang Diselenggarakan oleh Lingkungan baik disengaja maupun tidak.

Minggu, 15 Desember 2013

Life Skills

 

Broling (1989) mendefinisikan life skills sebagai interaksi berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimiliki oleh seseorang sehingga mereka dapat hidup mandiri. Dawis (2000: 1) menyatakan bahwa life skills adalah “manual pribadi” bagi tubuh seseorang. Kecakapan ini membantu seseorang belajar bagaimana memelihara tubuhnya, tumbuh menjadi dirinya, bekerja sama secara baik dengan orang lain, membuat keputusan logis, melindungi dirinya sendiri, dan mencapai tujuan dalam kehidupannya. Team Broad based Education (2002: 7) menyatakan bahwa life skills atau kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga pada akhirnya mampu mengatasinya. WHO (1997) menegaskan bahwa kecakapan hisup (life skills) adalah berbagai keterampilan/kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam hidup sehari-hari secara efektif.

Berdasarkan uraian beberapa pendapat di atas, dapat dirumuskan bahwa hakikat pendidikan kecakapan hidup dalam pendidikan nonformal adalah upaya untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, sikap, dan kemampuan yang memungkinkan warga belajar dapat hidup mandiri.

Dalam penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup, menurut Jaques Dehlor (1996) berprinsip dari empat pilar pendidikan, yaitu: learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan), learning to do (belajar untuk dapat berbuat/melakukan pekerjaan), learning to be (belajar untuk dapat menjadikan dirinya menjadi orang yang berguna), dan learning to life together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain). Penyelenggaraan pendidikan kecakaan hidup pada satuan pendidikan nonformal, terutama dalam rangka pengentasan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran dan lebih ditekankan pada upaya pembelajaran yang biasanya memberikan penghasilan (learning and earning). Menurut UU Nomor 20/2003 pasal 26 Ayat 5; Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Pendidikan kecakapan hidup (life skills) pada dasarnya merupakan sustu upaya pendidikan untuk meningkatkan kecakapan hidup setiap warga Negara. Pengertian kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.

Lembaga Kursus dan Pelatihan

Lembaga Kursus dan Pelatihan adalah salah satu bentuk satuan Pendidikan Nonformal yang diselenggara kan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Lembaga kursus dan pelatihan merupakan satuan pendidikan pendidikan luar sekolah (Nonformal) yang diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan bekal untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, dan atau melanjutkan ke tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan program kursus dan pelatihan adalah jenis keterampilan yang di selenggarakan satuan pendidikan PNF dalam hal ini lembaga kursus dan pelatihan, dalam setiap lembaga kursus dan pelatihan dapat terdiri dari satu atau lebih program kursus dan pelatihan. Adapun dasar pendrian lembaga kursus dan pelatihan meliputi Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 62 tentang pendirian satuan pendidikan. Ayat (1), Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Ayat (2), Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, system evaluasi dan sertifikasi serta manajemen dan proses pendidikan. Pasal 50 tentang Pengelolaan Pendidikan, Ayat (3), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Masyarakat yang berminat untuk menyelenggarakan LKP dapat mengajukan proposal pendirian LKP secara lengkap dengan melampirkan bukti-bukti fisik sesuai persyaratan yang ditetapkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota setempat, u.p. Subdin yang menangani PLS. Persyaratan pendirian LKP adalah;
  1. Bukti diri berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) penyelenggara yang masih berlaku
  2. Bukti kepemilikan/sewa tempat
  3. Data kapasitas daya tampung peserta didik
  4. Rencana pembiayaan untuk penyelenggaraan kursus dan pelatihan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun ke depan
  5. Data sarana dan prasarana yang dimiliki termasuk status gedung yang digunakan untuk penyelenggaraan kursus dan pelatihan
  6. Rencana program yang akan diselenggarakan paling sedikit 1 (satu) jenis
  7. Akta notaris pendirian badan hukum
  8. Struktur Organisasi/daftar nama
  9. Riwayat hidup penyelenggara atau anggota pengurus badan hukum yang menyelenggarakan program kursus.
Selain itu, adapun LKP diklasifikasikan menjadi 4 kategori, yaitu:
  1. LKP bertaraf Internasional, LKP berrtaraf internasional adalah LKP yang sudah memenuhi persyaratan sebagai LKP berklasifikasi nasional dan diperkaya dengan ciri-ciri yang mengacu pada keunggulan yang dipersyaratkan untuk memiliki daya saing di tingkat internasional. Dengan demikian, LKP berklasifikasi internasional adalah LKP yang sudah memenuhi dan melaksanakan persyaratan utuh LKP berklasifikasi nasional yang meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarpras (sarana prasarana), standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian.
  2. LKP dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP), LKP kategori SNP adalah LKP yang sudah memenuhi persyaratan sebagai LKP berklasifikasi Pelayanan Minimal dan diperkaya dengan ciri-ciri yang mengacu pada keunggulan yang dipersyaratkan untuk memiliki daya saing di tingkat nasional. Dengan demikian, LKP berklasifikasi nasional merupakan LKP yang sudah memenuhi dan melaksanakan persyaratan utuh LKP berklasifikasi pelayanan minimal yang meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarpras, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian.
  3. LKP dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM), LKP kategori SPM adalah LKP yang sudah memenuhi persyaratan minimal sebagai LKP, yaitu: (a) Isi pendidikan, meliputi: struktur kurikulum yang berbasis kompetensi dan berorientassi padakeunggulan lokal, dan bahan ajar berupa buku/modul bahan ajar, (b) Pendidik dan Tenaga Kependidikan, meliputi: jumlah, kualifikasi, dan kompetensi masing-masing pendidik dan tenaga kependidikan yang sesuai dengan bidangnya; (c) Sarana dan prasarana, meliputi ketersediaan ruang kantor, ruang belajar teori, ruang praktek, sarana belajar mengajar, dan media pembelajaran, dengan ukuran, jenis, dan jumlah yang sesuai; (d) Pembiayaan, meliputi biaya operasional dan biaya personal untuk mendukung terselenggaranya program pendidikan; (f)Manajemen meliputi struktur organisasi lembaga dan deskripsi tugas yang jelas dan terarah guna memudahkan jalannya kegiatan dalam pencapaian tujuan; dan (g) Proses pendidikan, meliputi: silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
  4. LKP Rintisan, LKP kategori rintisan adalah LKP yang sudah memenuhi persyaratan minimal sebagai lembaga untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran, baru merintis penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pada tingkat pemula, atau LKP yang belum memenuhi klasifikasi pelayanan minimal. Beberapa ciri esensial dari LKP Rintisan adalah: (1) memiliki komitmen dalam memberikan kontribusi positif dalam penyediaan layanan pendidikan nonformal bagi masyarakat yang membutuhkan; (2) melaksanakan penyelenggaraan proses pembelajaran yang sederhana, aktif dan menyenangkan; (3) memaksimalkan penggunaan sarana-prasarana yang tersedia; (4) menggunakan pembiayaan yang terbatas dan efisien; dan (5) memiliki pendidik/instruktur dengan kualifikasi SLTA.




Kursus dan Pelatihan

Dalam penjelasan pasal 26 ayat 5 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, dijelaskan bahwa kursus dan pelatihan adalah bentuk pendidikan berkelanjutan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan, standar kompetensi, pengembangan sikap kewiraushaan serta pengembangan kepribadian profesional.

Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Sejalan dengan hal tersebut maka kursus dan pelatihan diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, kepada masyarakat yang mebutuhkan.

Lembaga kursus dan pelatihan merupakan Satuan Pendidikan Pendidikan Luar Sekolah (Nonformal) yang diselenggarakan bagi warga masya- rakat yang memerlukan bekal untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, dan atau melanjutkan ke tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan program kursus dan pelatihan adalah jenis keterampilan yang di selenggarakan satuan pendidikan PNF dalam hal ini lembaga kursus dan pelatihan atau satuan pendidikan lain. Dalam setiap lembaga kursus dan pelatihan dapat terdiri dari satu atau lebih program kursus dan pelatihan.

Dengan mengikuti program kursus dan pelatihan pada lembaga – lembaga kursus dan pelatihan, masyarakat akan memperoleh pendidikan berkelanjutan yang dapat ditempuh dalam waktu singkat serta hasilnya dapat langsung dirasakan dalam kehidupan sehari - hari. Keterampilan yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan minat dan bakat, mencari pekerjaan, mengembangkan profesi, berusaha mandiri (wiraswasta), pengembangan karier, untuk memperkuat kegiatan pendidikan, dan dapat juga untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Senin, 09 Desember 2013

Pendidikan Luar Sekolah


Pada dasarnya, pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang terlebih dahulu lahir daripada pendidikan formal. Hal tersebut dapat terjadi mengingat sejalan dengan meningkatnya jumlah umat manusia di bumi ini, baik disadari maupun tidak akan kemudian sebuah kelompok – kelompok kecil sampai besar yang kemudian didalamnya terjadi interaksi yang dimana proses pendidikan disitu nantinya akan terlahir. Pendidikan nonformal timbul dari konsep pendidikan seumur hidup yang dimana bahwa proses pendidikan merupakan suatu proses continue yang bermula sejak seseorang dilahirkan hingga meninggal dunia. Sehubungan dengan hal tersebut untuk itulah kenapa pendidikan nonformal mempunyai karakteristik yang sangat berbeda apabila kita bandingkan dengan pendidikan formal yang sering kita temui dan alami pada masa – masa sekolah.
Menurut Coombs dalam Sudjana (2004), pendidikan luar sekolah ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. Menurut Philips H. Combs mengungkapkan bahwa pendidikan luar sekolah adalah setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan diluar sistem formal baik tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang dimaksudkan untuk memberikan layanan kepada sasaran didik terentu dalam rangka mencapai tujuan – tujuan belajar. Seain itu, Menurut Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso pendidikan luar sekolah adalah setiap kesempatan di mana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungankeluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya.


Dari beberapa paparan para pakar tersebut apabila kita tarik sebuah benang merah maka, pendidikan luar sekolah sejatinya merupakan sebuah pendidikan yang dirancang untuk membelajarkan warga belajar agar mempunyai jenis keterampilan dan atau pengetahuan serta pengalaman yang dilaksanakan di luar jalur pendidikan formal.