Pages

Sabtu, 11 Januari 2014

Awal Kemunculan Konsep Pendidikan Luar Sekolah


Pasca perang dunia II negara – negara terjajah satu demi satu memperoleh kemerdekaan. Pada era inilah negara – negara yang akan mulai berkembang itu mengisi kemerdekaannya dengan pembangunan di berbagai bidang yang meliputi social, politik, ekonomi, dan pendidikan. Sejalan dengan kemajuan setahap demi setahap bidang ekonomi, bidang pendidikan (formal) mengalami perluasan disertai dengan harapan – harapan bahwa pendidikan akan mendorong tingkat kesejateraan rakyat dan meningkatkan martabat bangsa yang baru merdeka. Sementara itu negara – negara yang telah lama merdeka dan memiliki industri maju, pendidikan telah berorientasi pada demokratisasi pendidikan dengan program wajib belajar sampai dengan sekolah lanjutan tingkat pertama bahkan tingkat atas yang akhirnya ditujukan pada kualitas hidup warga negaranya.
Pada pertengahan tahun 1960-an terjadi kepincangan dalam dunia pendidikan di berbagai Negara khususnya negara berkembang dan negara maju akibat enrolmen siswa dalam pendidikan sekolah meningkat hamper dua kali lipat, anggaran belanja pendidikan bertambah besar, pendidikan berkembang menjadi industri lokal. Pada bulan oktober 1967 sejumlah pakar pendidikan dan pakar ekonomi dari berbagai Negara tersebut berkumpul dalam satu konferensi yang diselenggarakan di Williamsburg, Virginia, USA. Tujuan daripada konferensi ini adalah untuk mengakses kondisi dan prospek pendidikan di dunia ini. Dalam konferensi itu hanya satu topik tunggal yang dibahas dan di diskusikan, yaitu tentang krisis pendidikan dunia. menurut Philip H. Coombs dalam sebuah makalah nya yang ditulis dan disajikan kepada peserta koneferensi, ada tiga kata yang saling berhubungan yang merupakan inti daripada krisis pendidikan dunia yaitu perubahan, adaptasi dan disparitas atau kesenjangan.
Dalam hal kesenjangan, yang dihadapi diantaranya mengenai materi kurikulum yang tidak lagi sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kebutuhan belajar para peserta didik atau siswa. Selain itu kesenjangan lainnya adalah mengenai ketidakserasian antara pendidikan dengan dunia kerja, ketidak merataan kesempatan pendidikan bagi berbagai segmen dalam masyarakat dan kesenjangan antara biaya pendidikan yang diperlukan dengan ketersediaan dana pemerintah untuk investasi dalam bidang pendidikan. Krisis semacam ini tidak dapat dihadapi dan diatasi hanya oleh segelintir kalangan pendidikan mengingat merupakan krisis yang menyangkut ranah ekonomi juga didalamnya.
Menuju ke awal 1970-an telah terjadi pula perubahan selain pada aspek demografi seperti pada akhir 1960-an. Perubahan yang terjadi adalah dalam hal pemikiran dan kebijakan tentang pembangunan dan perubahan pemikiran tentang pendidikan. Asumsi yang mendasari pemikiran tentang pembangunan di Negara – Negara yang sedang berkembang adalah identik dengan yang berlaku di Negara industri maju yaitu melalui investasi, industrialisasi, pertumbuhan GNP dan bahwa proses pembangunan akan di susul oleh proses redistribusi pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Namun dalam kenyataannya, di Negara – Negara yang sedang berkembang pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan GNP tricle down and spread effect itu telah mengakibatkan kepincangan pembagian pendapat dan telah menimbulkan kelompok – kelompok penduduk yang miskin, bahkan hasil dari sebuah pembangunan terbalik, yang seharusnya juga dirasakan oleh kalangan bawah malah dominan dirasakan oleh hanya kalangan atas semata. Dengan kenyataan seperti itu kemudian terjadi perubahan pemikiran dan kebijakan tentang pembangunan yaitu bahwa pembangunan bukan dimaksudkan untuk mensejahterakan kelompok kecil orang melainkan berorientasi kepada kelompok orang banyak dengan penekanan kepada kelompok miskin dan kurang beruntung. Sejalan dengan itu akses pendidikan pun harus terjadi bagi setiap segmen warga masyarakat.
Bersamaan dengan perubahan pemikiran dan kebijakan dibidang pembangunan telah terjadi pula perubahan pemikiran tentang pendidikan. Fokus pemikiran pendidikan ini adalah dalam mendefinisikan pendidikan itu sendiri, lama sebelum akhir tahun 1960-an dan menjelang awal tahun 1970, pendidikan secara popular dikonotasikan dengan persekolahan atau system pendidikan formal berjenjang, merentang dari sekolah dasar sampai akhir perguruan tinggi dengan menggunakan pemahaman demikian itu pendidikan seseorang diukur dengan lamanya seseorang tersebut bersekolah yang sekaligus menunjukan sekolah tingkat apa seseorang tersebut menyelesaikan pendidikannya. Cara pandang seperti inilah yang disebut cara pandang yang sempit mengenai definisi dari sebuah pendidikan. Dengan keterbatasan institusi dan pembatasan usia peserta didik/siswa telah menyebabkan pendidikan tidak realistik dan sesuai dengan kenyataan di masyarakat yaitu bahwa sekolah hanyalah sekolah saja yang hanya dapat memenuhi semua kebutuhan belajar setiap individu, bahwa hal ini dapat diselesaikan satu kali untuk semua yang dipenuhi sepanjang usia sekolah setiap individu dan siapa yang tidak bersekolah dengan baik sampai selesai adalah orang tidak berpendidikan.
Wawasan yang lebih umum tentang pendidikan yang diterima luas di dunia internasional pada awal 1970-an menyamakan arti pendidikan secara luas dengan belajar dimana, bagaimana, dana pada individu usia berapa pun belajar itu terjadi, serta pendidikan itu merupakan proses sepanjang hayat mulai sejak baru lahir sampai usia tua menjelang kematian seseorang. dalam kerangka itu Coombs mengajukan konsep formal, nonformal, and informal education. Pada waktu yang hampir bersamaan Edgar Faure sebagai ketua komisi “International Commission on Lifelong Education for today and tomorrow, yang didalamnya dimunculkan konsep learning to be and the learning society. Demikian pula muncul konsep formal, nonformal and informal education sebagaimana sebelumnya telah di populer kan oleh coombs.
Dengan pandangan baru yang luas tentang pendidikan dan dengan munculnya konsep pendidikan sepanjang hayat, pendidikan formal, nonformal dan informal, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengecilkan arti pendidikan sekolah melainkan sebaliknya yakni memperkuat pendidikan sekolah (formal).
Kemunculan pendidikan nonformal di dunia pendidikan international pada awal tahun 1970-an telah diterima secara luas di berbagai Negara di dunia yang salah satunya didasarkan atas strategi nya yang lebih terintegrasi dengan pendekatan berbasis masyarakat dan berorientasi pembangunan dan pemenuhan kebutuhan dasar kelompok miskin. Namun demikian timbul berbagi pertanyaan terhadap pendidikan nonformal itu, apakah pendidikan nonformal itu? seperti apa bentuk pendidikan nonformal itu? bagaimana mekanisme kerjanya? siapa yang melayani kegiatannya? bagaimana di organisasikan, dikelola dan didanai? bagaimana hubungannya dengan pendidikan formal? pertanyaan – pertanyaan tersebut menjadi tantangan para pakar dan praktisi pendidikan dan otoritas pembangunan di tingkat internasional, regional dan nasional yang kemudian melahirkan konsep – konsep, teori – teori, dan program – program aksi.
Tidak mengherankan jika istilah pendidikan nonformal yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa menimbulkan kebingungan atau miskonsepsi atau pemahaman oleh sejumlah kalangan pada saat itu. Sebagian pihak ada yang mengkonotasikan dengan pendidikan orang dewasa dan lebih spesifik dengan kegiatan pemberatasan buta huruf. Sebagian orang lagi tanpa dilandasi pemahaman yang lebih luas tentang pendidikan nonformal harus berada dan hanya merupakan kegiatan dibawah tanggung jawab departemen pendidikan saja. Sikap ini sejalan dengan kebijakan bank dunia, UNICEF dan USAID yang akan segera membantu pengembangan pendidikan nonformal diberbagai Negara. Namun di lain pihak, mereka yang bersikukuh dengan pendidikan formal sebagai satu – satunya lembaga pendidikan merasa tersaingi karena sumber – sumber pendidikan nantinya akan berbagi. Ironisnya dipihak yang mengkritik pendidikan formal seperti Ivan Llich (1970) dengan Deschooling Society nya menegaskan pendidikan nonformal sebagai perangkat untuk memecahkan monopoli sekolah dalam pendidikan.
Masih ada dua miskonsepsi tentang pendidikan nonformal, pertama pemahaman bahwa pendidikan nonformal itu ditujukan semata - mata bagi kelompok miskin dan hanya cocok untuk Negara - Negara berkembang saja. Pandangan ini menurut Coombs keliru sebab Negara – Negara industry maju dalam kenyataan memiliki banyak variasi dan jenis program serta kegiatan nonformal, tanpa kegiatan pendidikan nonformal kemajuan social, ekonomi dan teknologi akan mengalami kelambatan. Pendidikan dipergunakan secara meluas, misalnya dalam upaya memperkenalkan dan menggunakan teknologi baru dan produk baru dalam kelompok tani progresif, pekerja industry, pekerja bank dan sebagainya. Pendidikan nonformal merupakan alat utama yang digunakan oleh orang – orang yang berpendidikan baik melanjutkan pendidikannya melalui berbagi cara dan arah. Pada Negara – Negara yang maju pendidikan nonformal juga memberi peluang kepada siapapun yang berbakat dan berminat untuk menjadi spesialis yang terlatih pada tingkat tinggi seperti fisikawan, insiyur, ilmuwan dan manager puncak di pemerintahan atau industry bisnis.
Miskonsepsi lain adalah tentang biaya pendidikan, ada yang menganggap biaya pendidikan nonformal lebih murah daripada biaya pendidikan formal dalam pengertian lebih efesien, tujuan dapat dicapai dengan biaya rendah. Kesalahan pemahaman ini pertama, memang benar banyak kegiatan nonformal yang unit pembiayaan rendah jika dibandingkan dengan pendidikan formal, tetapi perbandingan ini tidak berarti apapun kecuali jika perbandingan itu dalam upaya mencapai tujuan belajar yang sama melalui kelompok belajar yang bisa dibandingkan. Selain itu biaya program dan kegiatan – kegiatan pendidikan nonformal berbeda – berbeda dan sangat beragam, ada yang memerlukan biaya rendah namun juga ada yang memerlukan biaya yang sangat tinggi.
Dalam kemuculan miskonsepsi ini, Coombs (1985:23) berpendapat bahwa pendidikan nonformal tidak merupakan suatu system pendidikan yang terpisah melainkan parallel dengan system pendidikan formal dalam kerangka system yang lebih besar yaitu system pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal menurut Coombs adalah label generik yang meliputi:
any organized, systematic, educational activity, carried on outside the framework of formal system, to provide selected type of learning to particular subgroup in the population, adults as well as children. Thus defined nonformal education includes, for example agricultural extension and farmer training programs, adult literacy programs, occupational skill training given outside the formal system, youth clubs with substantial educational purposes and various community programs of instruction in health, nutrition, family planning, cooperatives and the like. (Coombs and Ahmed:8).
Berbagai pendidikan nonformal pada umumnya independen satu sama lain, walaupun ada sebagian yang terintegrasi dengan system pembangunan tertentu, seperti pertanian, kesehatan, industry atau system pembangunan masyarakat terpadu. Sebagian lainnya lagi ada yang mempunyai keterkaitan erat dengan pendidikan formal seperti pendidikan keaksaraan bagi orang dewasa, pendidikan keaksaraan bagi anak dan remaja. Dalam pada itu pendidikan informal tumpak seperti pendidikan nonformal, pada sesungguhnya berbeda, pendidikan informal mengacu pada:
The lifelong-long process by which every person acquire and accumulates knowledge
Uraian singkat di muka sekedar untuk mengingatkan kita bersama terhadap awal kemunculan paradigma baru pendidikan, khususnya pendidikan nonformal. Munculnya pertanyaan, bagaimana sesungguhnya paradigm (baru) keilmuan pendidikan nonformal itu? atau dengan perkataan lain, bagaimana ilmu pendidikan nonformal itu sesungguhnya?

Sumber : 
Coombs, P. (1968). The World Educational Crisis. New York: Oxford University Press.
                Coombs, P. (1985). The World Crisis in Education. New York: Oxford University Press
           Trisnamansyah, Sutaryat. (2008). Pengembangan Paradigma Baru Keilmuan dan Kelembagaan Pendidikan Nonformal. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar